Buat kita semua yang tinggal di Indonesia, pasti bisa banget relate dengan pernyataan saya diatas. Bahwa ada kalanya (terutama akhir-akhir ini ketika demo marak dan situasi politik panas dingin) kita merasa sangat lelah tinggal di Indonesia. Flashing back ke pengalaman pribadi saya sendiri ketika sedang hamil di thn 2014 dan mengikuti debat capres lalu tiba-tiba terjadi kontraksi hebat yang akhirnya membuat saya memutuskan bahwa sejak detik itu saya lebih baik (memilih) berita politik yang masuk ke benak saya. Ya, saya yakin bahwa untuk orang-orang Indonesia yang sebagian besar menggunakan perasaan dalam bertindak dan berperilaku, pasti mudah sekali digoyang kesehatan emosi dan mentalnya dengan mendengar berita-berita buruk yang berseliweran. Ada orang yang sadar dan mencoba mengelolanya dengan tidak membuat keruh suasana, tapi sebagian besar yang terjadi adalah perasaan putus asa dan lelah karena berita negatif bertubi-tubi yang sepertinya tidak ada akhir.
Disinilah terjadi titik ketika saya dipertemukan untuk terlibat dengan program Astra SATU Indonesia Award 2019. Dari dulu memang saya selalu terobsesi dengan cerita dibalik layar, oleh karena itu, ketika mendapatkan tugas dari Inspigo.id untuk bertugasmenginterview orang-orang yang ada di belakang Astra SATU Indonesia Award pasti aja langsung hayuk karena selalu ingin belajar dari sisi pandang corporate (Astra) dan dari penerima award secara individunya. Saya dibukakan mata bahwa begitu banyak Unsung Heroes di Indonesia yang tidak pernah terekspos dan bahwa dibutuhkan bantuan bersama dari kita semua untuk memastikan bahwa cerita mereka terdengar. Karena jika saja 1 orang bisa menggandeng 5 orang disekitarnya untuk berubah menjadi lebih baik, maka 5 orang tersebut bisa menularkan kebaikan ke 25 orang sekitarnya dan itulah arti tersendiri bagi perubahan yang merubah dunia.
1. Cerita Eko Cahyono, Si Pembebas Buta Huruf dari Malang,
Dimulai dari keprihatinannya melihat bahwa ternyata masih ada beberapa orang di kampungnya yang buta huruf dan kesakit-hatian nya bahwa keinginannya membaca di perpustakaan dikungkung oleh banyaknya peraturan yang membatasi, Eko akhirnya membuka konsep perpustakaan yang bersifat mendekatkan buku kepada para pembacanya. Sudah 21 thn sejak dia pertama kali membuka perpustakaan, dia menciptakan sendiri konsep perpustakaan 24 jam dan menjadi taman rekreasi keluarga yang menjadikan siapapun didalamnya betah untuk melakukan berbagai macam aktivitas yang berpusat pada buku. Ketika dia membeli PlayStation dan anak-anak mengantri, maka dia mewajibkan anak-anak untuk membaca buku sebagai prasyarat bermain.
Daripada banyak orang pacaran dengan kegiatan yang tidak jelas, dia fasilitasi dengan menonton film bersama yang dibarengi dengan diskusi mengenai film tersebut. Ibu ibu pun bebas untuk membuat kelas memasak dengan berbasis resep yang harus diambil dari buku. Hanya bermodalkan 400 majalah, kini koleksinya menjadi 75.000 buku dan 86 titik baca dan itu semua murni dia lakukan untuk meratakan akses terhadap buku. Dia percaya bahwa akses buku adalah hak dasar setiap manusia dan melawan stigma bahwa orang Indonesia tidak gemar membaca. Eko tidak pernah khawatir bahwa bukunya hilang, dia hanya menyatakan bahwa jika buku tidak kembali – maka dia telah menemukan pembacanya. Bahwa buku itu mati saat dia diletakkan di lemari dan disimpan rapi oleh si empunya. Mendengar cerita Eko, sayapun tercenung.. Pikiran saya pun melayang terhadap tumpukan buku yang sudah saya ‘bunuh’ dengan menjejerkan mereka secara rapi di laci lemari saya.
2. Cerita Noviyanto dan Keju Boyobert (Boyolali Camembert)
Beberapa saat yang lalu pernah terjadi kegaduhan mengenai Boyolali akibat (salah) bicara dari salah seorang capres dan ..berkaca terhadap diri kita sendiri – seberapa sering kita bersikap judgemental dan cenderung merendahkan terhadap semua orang yang berbeda dengan cara kita berpenampilan, bertutur, bersikap, berbicara?
Padahal, kota kecil seperti Boyolali yang ternyata merupakan salah satu kota dengan penghasil susu terbanyak di Jawa Tengah, semua ini dimulai karena mereka membuka diri terhadap akulturasi terhadap budaya lain yang dibawa peneliti Jerman sekitar 10 thn yll, dan membuka diri terhadap proses kolaborasi – maka Boyolali pun bisa memiliki merk Keju Indrakila, yang merupakan usaha bersama Koperasi Unit Desa yang dimiliki 19 orang dengan Noviyanto sebagai motornya. Saat ini Indrakila sudah dapat menghasilkan 9 jenis keju yang bahkan (belum) awam dikonsumsi masyarakat Indonesia seperti Feta, Mozzarella, Camembert, Brie, dll. Industri keju di Boyolali tumbuh secara sehat karena adanya alternative nilai tambah yang diberikan untuk pengolahan hasil akhir susu.
Sehingga tidak ada lagi cerita bahwa susu dibuang ataupun harga jatuh karena produksi berlebih yang tidak bisa ditampung produsen. Saat ini produksi keju lokal baru menguasai pasar 1% dari total pasar keju di Indonesia. Hal ini juga yang membuat Noviyanto semangat untuk memajukan terus Keju Indrakila, semangat untuk terus memberikan dampak untuk memutar balik persepsi yang dengan mudah diberikan orang lain dan mengajarkan kepada kita semua untuk belajar mengenal dan menghargai, tanpa menghakimi.
3. Cerita Narman dan Kecintaannya Terhadap Kemandirian Ekonomi Baduy
Apa yang kita lakukan saat budaya yang kita cintai, dapat menjadi terancam karena masalah ekonomi dan menghadapi kepunahan akibat kemajuan jaman? Narman memilih untuk memberanikan diri menjejakkan kaki di dua dunia yang saling bertolak belakang. Sebagai warga asli Baduy yang mengharuskannya belajar segala sesuatu dengan otodidak dikarenakan institusi sekolah itu dilarang,namun Narman mempercayai bahwa esensi sesungguhnya pendidikan adalah satu proses penyempurnaan diri yang juga dijunjung tinggi oleh warga Baduy. Untuk bertahan, Suku Baduy memerlukan kemandirian secara ekonomi, dan oleh sebab itu – menggantungkan diri hanya kepada para turis ataupun hasil bumi bukanlah solusi yang berkelanjutan karena keterbatasan lahan dan jumlah turis yang akan membeli hasil bumi ataupun kerajinan mereka. Mulailah Narman belajar sendiri membuat website, mendirikan e-commerce dan marketplace untuk menjual kerajinan Baduy asli dari pengrajinnya. Bisa dilihat hasilnya di website Baduycraft.com dimana dia kelola setiap hari dengan berjalan tiap hari menembus hutan demi memperjuangkan kemandirian ekonomi masyarakat Baduy. Tidak memiliki akses sekolah bukan berarti halangan bagi Narman, karena sejatinya pendidikan ada dimana saja bagi setiap orang yang mencarinya.
3 orang diatas hanyalah sebagian cerita yang lengkapnya bisa didengarkan nanti di apps Inspigo sebagai bentuk kolaborasi Astra untuk menyebarkan cerita positif role orang-orang biasa yang ada di sekitar kita. Apa yang diceritakan bukanlah bentuk kesombongan, namun mengetahui bahwa masih banyak orang diluar sana yang berjuang untuk memberikan dampak kebaikan bagi orang lain tanpa pamrih, mereka semua memulai karena tidak tahan melihat masalah sosial yang mengganggu nurani mereka dan pada akhirnya, menimbulkan keberanian bagi mereka untuk melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah sosial tersebut. Mereka adalah para Unsung Heroes – role model yang perlu semakin banyak ditumbuhkan untuk melawan semua kenegatifan dan berita simpang siur yang menimbulkan ketidakpastian. Mereka adalah orang yang bekerja karena hati mereka memanggil. Memiliki tujuan (purpose) yang jelas bagi masyarakat sekitarnya.
Mendengarkan mereka, harapan saya jadi bangkit. Bahwa ada secercah harapan bahwa ternyata begitu banyak orang yang berjuang dan orang-orang inilah yang harus menjadi inspirasi lebih banyak orang lagi untuk melakukan bagian kecil mereka sendiri-sendiri. Bagaimana dengan kita sendiri ? Apa yang sudah kita lakukan untuk memberikan dampak bagi masalah sosial di sekitar kita ini?
By the way, mencari role model itu tidak gampang lho di society kita ini. Karena (seringkali) persepsi kita terhadap role model haruslah orang yang sempurna, yang tidak ada celanya. Yang tidak bisa dicela lahir dan batin. Padahal, role model juga manusia. Selalu ada cerita lain yang bisa kita pelajari dari semua cerita baik dan buruk. Tinggal kita mau mengangkat sisi mananya saja. Seharusnya bisa lebih banyak lagi role model yang bisa kita gugu dan tiru jika kita tidak mengharapkan role model sempurna yang pada akhirnya lebih sering jatuh ke arah mengkultuskan seseorang daripada role modeling.
So, terimakasih ASTRA (btw, ini purely non-sponsored – non endorsed posts) dan semua orang di Indonesia, yang telah berbuat aksi nyata dan memberikan harapan bahwa kemanusiaan itu masih ada (dan banyak) di Indonesia. Karena kita butuh role model seperti mereka, untuk menghidupkan api-api harapan di batin sanubari setiap orang dan menggerakkan aksi nyata yang membantu menyelesaikan segala permasalahan sosial yang ada didalamnya.
For more information tentang ASTRA SATU Indonesia Award visit https://www.satu-indonesia.com/satu/satuindonesiaawards/
Untuk mendengarkan cerita penerima Awards, download apps INSPIGO dan dengarkan di bagian section Astra x Inspigo. Oiya, jangan lupa dengarkan podcast saya juga ya Lead with Purpose, juga di Inspigo:)
Published on October 7, 2019 https://www.linkedin.com/pulse/ketika-saya-merasa-hampir-putus-asa-dengan-odi-negara-irma-erinda/
Comments