So, it's that time of the year again! Ketika semua perusahaan multinasional mulai membuka pintu mereka untuk hire karyawan baru dengan jalur MT (Management Trainee). You name it, sebut saja perusahaan seperti Unilever (my almamater! woot!), Nestle, L’oreal saat ini sedang membuka pendaftaran untuk kesempatan masuk melalui program MT mereka.
Saya seperti flashback ke belakang 11 tahun yang lalu, ketika menjadi bagian dari team yang melahirkan program UFLP (Unilever Future Leaders Program) di Indonesia untuk Unilever. Sebenarnya jalur MT sendiri bukanlah hal yang baru, apalagi untuk Unilever Indonesia. Dari pertengahan tahun 1970-an program tersebut sudah ada dan terbukti bahwa banyak Board of Directors, bahkan Chairman Unilever beberapa kali juga lahir dari program tersebut. Namun, hal yang spesial tentang ‘lahirnya’ UFLP di tahun 2009 adalah bahwa untuk pertama kalinya program tersebut dikalibrasi dengan standar internasional. Bahwa derajat MT Indonesia haruslah sama dengan standar yang berlaku di negara lain di seluruh dunia. Sehingga otomatis requirements yang dibutuhkan juga semakin tinggi dan kompleks.
Dan hal tersebut juga sepertinya berlaku tidak hanya di Unilever. Perusahaan multinasional yang ada di Indonesia juga mulai bergerak ke arah standarisasi global. Karena memang kebutuhan di masa depan. Sebagai negara dimana rata-rata keberadaan market size Indonesia terbilang signifikan - hadirnya SDM Indonesia di kancah global sebagai penentu kebijakan haruslah terwakili sesuai dengan kontribusi bisnis Indonesia yang besar. Oleh karena itu, untuk keberlangsungan jangka panjang, perusahaan masih akan terus berinvestasi ke SDM terbaik untuk dapat masuk ke perusahaannya.
Tapi dunia juga sudah bergerak banyak beberapa tahun terakhir. Dengan pertumbuhan perusahaan digital dan teknologi, membuka peluang besar pekerjaan yang (terkesan) lebih sexy dan kekinian yang tidak kalah dari sisi gengsi ataupun gaji. Jika saya adalah fresh graduate ataupun baru memulai karir, apakah saya harus mempertimbangkan untuk mencoba peluang saya di program MT ?
Di beberapa kali sesi group coaching yang sering saya lakukan, saya sering iseng bertanya – kenapa sih alasan para pelamar ngotot pengen masuk program MT. Berikut adalah alasan yang paling sering saya dengar (dan komentar saya tentunya):
1. Struktur program dan jenjang karir sudah (relative) jelas.
Emang sih, harus diakui bahwa masuk program MT ini agak-agak mirip dengan kuliah karena rasanya memang seperti disuruh belajar dengan struktur kurikulum dari mulai waktu rotasi pindah, siapa saja nanti bos nya selama periode tersebut, diberi mentor, dimonitor secara detail pekerjaannya sampai mana, hasilnya apa, dan dicek secara berkala. Tapi bedanya dengan kuliah, yang ini dibayar dan pastinya, ekspektasi untuk bisa deliver pun lebih tinggi sehingga pressure juga diatas rata-rata.
Sebagai orang yang pernah ‘ngangon’ 52 orang sekaligus dan bertugas untuk monitoring performance para MT, hal ini terdengar simple tapi menjalankannya di lapangan bisa bikin orang HR sakit kepala
2. Gaji besar.
"With great power, comes great responsibilities" - Peter Parker
Gaji seorang MT biasanya memang lebih besar dari rata-rata gaji karyawan yang masuk dari program biasa. Kenapa? Karena memang ekspektasi dari perusahaan untuk si MT berhasil memang juga lebih besar. Sebenarnya hal ini juga berlaku hampir di semua jenis pekerjaan. Gaji biasanya memang relatif dengan result/output dan besarnya tanggung jawab yang diemban oleh karyawan tersebut. Oleh karena itu, be prepared to deliver more than average.
3. Prestige of the Program
Harus diakui bahwa program MT juga dirancang sebagai jualan employer branding dari perusahaan. Setiap program MT memiliki gengsi tersendiri dengan mitos-mitos yang sudah ada sehingga mengakibatkan siapapun yang berhasil mengalahkan mitos-mitos tersebut adalah mereka yang sering disebut ‘the chosen ones’. Mitos seperti bahwa berhasil terpilih dari puluhan ribu pendaftar (pasti dia pintar!) , berasal dari universitas non-favorit tapi masuk (pasti dia ulet!), berasal dari kalangan biasa-biasa aja (pasti dia usahanya keras!) dan sebagainya yang pada akhirnya membuat siapapun yang ada di MT program (merasa) bahwa MT adalah bagian dari warga negara kelas A.
4. Prestige of the Company
‘Pokoknya Mba, saya harus masuk XXXX – terserah deh mau diterima di function apapun’. Pernyataan ini cukup sering saya dengar dan kadang bikin saya suka kasihan sendiri terhadap anak tersebut, because the idea of the company overshadow the purpose of why one person exist.
Ya mungkin ada saja orang yang bisa masuk dengan alasan ini ke perusahaan favorit mereka, tapi ketahuilah bahwa melakukan pekerjaan >10 jam sehari untuk hal yang tidak kalian sukai/inginkan jika dilakukan secara berkepanjangan akan mengakibatkan matinya energi diri kita. Confucius pernah berkata
“Choose a job you love, and you will never have to work a day in your life”.-
Saya benar-benar percaya bahwa kunci untuk berkarir jangka panjang (yes, sadarkah kita bahwa paling tidak kita akan bekerja selama 40-50 tahun dari seluruh hidup kita?) adalah mengenali diri sendiri dan melakukan hal dimana kita dapat memberikan nilai tambah terbaik.
Jadi kembali lagi ke pertanyaan awal, jika saya baru memulai karir saya – apakah saya harus mempertimbangkan untuk melamar pekerjaan sebagai MT (dimanapun) ?
Jawaban saya adalah Ya. A big YES! Bukan karena semua alasan diatas, bukan karena pada akhirnya apakah si pelamar kerja akan beneran diterima atau tidak di perusahaan tersebut, namun karena hal-hal berikut :
1. Melalui proses seleksi MT sendiri merupakan satu pengalaman yang berharga
Sudah jadi rahasia umum proses seleksi MT merupakan proses yang challenging. Dari tes online, gamification, digital interview, Leaderless discussion (FGD), case study. Semuanya sebenarnya adalah proses kalibrasi dan pembelajaran bagi diri kita sendiri sebagai pencari kerja. Karena mau tidak mau, proses seleksi itu seperti layaknya bootcamp upgrade diri sendiri.
Kita pasti akan research, belajar/latihan dan pada akhirnya mau hasilnya ditolak maupun diterima – kita sudah melatih critical thinking, problem solving skills, presentation skills, belajar teknik interview dengan menggunakan AI, networking dengan sesame pencari kerja sehingga bisa melihat peta skills yang mereka miliki untuk menjadi poin refleksi diri sendiri, bertemu dengan business leaders dan mencicipi sendiri rasa ‘culture’ dari setiap company untuk tahu nanti cocoknya di perusahaan yang seperti apa.
Proses seleksi MT juga merupakan proses seleksi yang cukup jamak dilakukan di banyak perusahaan. Jadi bisa dianggap bahwa ini adalah kawah candradimuka yang jika kita berhasil melalui proses tahapan apapun (dan jika akhirnya ditolak) pasti kita bisa lebih mudah masuk ke perusahaan lain karena sudah merasakan yang lebih susah. Anggap aja ini seperti kita ikutan show The Apprentice :)
Yakinlah, pada akhirnya self awareness dan rasa percaya diri kita terhadap diri sendiri pun akan semakin kuat dan terbentuk. Just make sure you get proper feedback and do reflection of your key learnings throughout the process.
2. MT is all about leveraging opportunities (of leadership and exposure)
Mau diperusahaan apapun juga (bahkan di perusahaan yang lebih kecil dari yang saya sebutkan diatas). MT adalah investasi perusahaan terhadap SDM. Banyak saya dengar anak2 MT menyalahkan perusahaan yang tidak memiliki struktur MT serapi perusahaan2 besar, tapi meski proses MT di perusahaan belum rapi – seringkali perusahaan akan memberikan harapan lebih kepada seorang MT sehingga tetap akan mendapatkan exposure dan kesempatan yang (relatively) lebih besar untuk network dengan leaders dan melihat bisnis dari berbagai sisi dalam waktu singkat sehingga terjadi akselerasi di diri para MT tersebut. Hal ini yang tidak bisa dinilai dengan uang. Kesempatan untuk mentoring dan bekerjasama dengan leaders di business (baik leaders yang baik ataupun buruk) membuat kita mampu untuk mencari banyak role model dan menentukan kita sendiri akan menjadi leader yang seperti apa.
Salah satu nasihat andalan saya kepada para MT adalah
“MT itu ibaratnya kalian diberikan mobil Ferrari dan yang non-MT diberikan mobil Innova. Jika yang nyetir Ferrari ga becus dan cuma jalan 70 km per jam sedangkan Innova jalan 150 km per jam, maka yang sampai ke finish line duluan adalah Innova”.
Oleh karena itu, jika memang diterima di program MT apapun, pakailah topi seorang supir yang jeli melihat kesempatan untuk mengembangkan diri meskipun program MT di kantor tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Memiliki prinsip ini pun juga akan menjaga humility atau kerendahan hati dari setiap MT yang notabene akan menjadi dasar dari skills yang harus dimiliki oleh semua leaders.
3. MT is an opportunity to get to know yourself (fast)
They say ‘fail fast, fail often’. Dengan banyaknya exposure, project yang diberikan maka gagal adalah satu hal yang sangat mungkin terjadi. Ketika hal tersebut terjadi, mindset apa yang akan kita adaptasi untuk bisa bounce back? Apakah kita akan melakukan proses iterasi untuk mencoba belajar dari kesalahan tersebut, atau memilih untuk menyerah?. Pasti dalam perjalanan akan kita temui hal-hal yang membuat kita untuk lebih paham mengenai diri kita sendiri dan interaksi kita dengan orang lain untuk kemudian bisa menjadi pembelajaran kita.
Sebenarnya masih banyak cerita dibalik layar kalau bicara tentang MT program yang masih bisa dibahas, mungkin di post-post selanjutnya. So, selanjutnya gimana ? Ya apply aja! Tapi Mba, kriteria saya ga masuk .. well, sstt.. let me tell you a secret, apply kerjaan ga bayar kok, ga modal apa-apa. Jadi jangan takut, eksplorasi lah dunia kerja. Dan jika ditolak… ? ya gpp. Let’s move on and learn something of the process. Selamat mencoba daftar MT!
Published on May 31, 2021 https://www.linkedin.com/pulse/mt-program-se-worth-itukah-irma-erinda/
Commentaires